Machiavelli, Machiavellis dan Machiavellianism

Arvan Pradiansyah

Motivator Nasional – Leadership & Happiness

Machiavellinism
Machiavellinism – Niccolo Machiavelli

Machiavelli itu nama orang, seorang diplomat dan penulis asal Italia di abad ke 16: Niccolo Machiavelli.  Namun lebih dari sekedar nama, Machiavelli kini telah berkembang menjadi sebuah ajaran, mindset, cara pandang, dan perilaku. Dalam Bahasa Inggris definisinya adalah: The End Justify The Means, atau tujuan menghalalkan cara. Inilah sebuah paradigma yang menjadikan tujuan sebagai Tuhan sehingga apapun harus dilakukan agar dapat mencapainya.

Mengapa perilaku Machiavelli ini muncul? Jawabnya sederhana sekali: karena orang ingin menang, padahal kemampuan mereka terbatas. Jadi disini ada 2 variabel yang terkait. Pertama, ingin menang. Kedua, kemampuan terbatas.

Kalau variabel yang ada hanya salah satu saja, maka perilaku Machiavelli tidak akan pernah tercipta. Orang yang ingin menang dan punya kemampuan tidak perlu menggunakan cara-cara yang licik. Ia akan bersaing dengan cara-cara yang sehat karena tahu bahwa ia mampu memenangkan persaingan. Begitu juga dengan orang yang punya kemampuan terbatas tetapi sangat sadar diri dan tidak berambisi untuk menang.

Dengan kata lain orang yang memilih jalan Machiavelli sesungguhnya adalah orang yang tidak sadar dan tidak tahu diri, sudah kemampuan terbatas, tetapi sangat berambisi untuk menang. Kemenangan tentu saja mustahil didapat dengan cara-cara yang sehat dan halal, karena itu Machiavelli kemudian muncul sebagai jalan keluarnya.

Tanpa perilaku Machiavelli seseorang yang memiliki kemampuan terbatas sesungguhnya sudah kalah sebelum bertanding. Malah kalau boleh disarankan – sebaiknya ia mengurungkan niatnya untuk bertanding karena sudah pasti kalah. Terus mengikuti pertandingan padahal kemampuan terbatas bukanlah contoh memotivasi diri. Itu lebih tepat disebut memaksakan diri. Ujung dari semuanya adalah kesia-siaaan yang berakibat stres dan pemborosan sumber daya.

Machiavellianism Pandangan yang Menghalalkan Segala Cara

Machiavellinism dan persaingan tidak sehat
Machiavellinism merupakan pandangan yang menuhankan tujuan. Sehingga melahirkan persaingan yang tidak sehat, dengan menghalalkan segala cara.

Sayangnya banyak manusia yang tak dapat dinasehati sesederhana itu. Ia tak peduli pada kemampuannya. Ia lebih peduli pada ambisinya yang menggebu-gebu. Ia ingin menang, dan harus menang dengan cara apapun. Dan karena kemampuannya yang serba terbatas, maka cara halal hanya akan menempatkannya sebagai pecundang. Tak ada cara lain, ketika jalan-jalan kebaikan sudah tertutup rapat maka selalu ada ajakan untuk mencoba cara lain yang kelihatannya cukup “indah”.

Kata “indah” sengaja saya beri tanda kutip karena indah itu hanya penampakannya belaka. Machiavelli memang menyodorkan keindahan kepada para pemujanya karena menjanjikan cara yang lebih cepat, lebih mudah dan lebih kreatif. Dan di atas semua itu, Machiavelli sesungguhnya menawarkan satu hal kunci: KEMENANGAN.

Sekarang saya tanya pada Anda, dalam persaingan siapakah yang lebih besar peluangnya untuk menang, apakah seorang yang jujur dan lurus atau seorang Machiavellis? Anda pasti terkejut mendengar jawaban saya: Ya, sudah pasti yang Machiavellis yang lebih mungkin menang!

Mengapa demikian? Begini, katakanlah ada 10 tools (alat, cara) untuk menjadi kaya: 5 alat yang halal, 5 alat yang haram. Bagi orang yang jujur dia hanya memiliki 5 alat saja. Sementara seorang Machiavellis bisa menggunakan 10 alat sekaligus. Betapa hebatnya, dan betapa menggiurkannya.

Itulah yang menggoda seseorang untuk menjadi Machiavellis. Seorang Machiavellis adalah orang yang bebas, tidak terikat dengan norma apapun, dan karenanya berpeluang untuk menjadi jauh lebih kreatif. Seorang Machiavellis lebih besar kemungkinannya untuk mencapai kemenangan karena alat yang bisa ia gunakan jauh lebih banyak.

Agama dan Moral dalam Kacamata Machiavellianism

Tapi bagaimana dengan persoalan moral dan agama? Bagi seorang Machiavellis, agama dan ajaran-ajaran kebaikan hanya dilihat sebagai sebuah penghambat, sebuah batasan kreativitas yang tidak sejalan dengan kemajuan dan kesuksesan. Bagi Machiavellis, tidak bermoral justru dianggap sebagai sebuah keunggulan, sebuah competitive advantage. Bagaimana mungkin bisa menang kalau Anda hanya menggunakan cara yang juga digunakan oleh pesaing Anda? Justru Anda harus menggunakan cara-cara yang tidak akan mungkin digunakan oleh pesaing Anda yang jujur. Inilah mindset seorang Machiavellis.

Lantas apakah dengan segala kelicikannya seorang Machiavellis akan senantiasa mengalami kesuksesan dalam hidupnya? Tidak juga. Dalam hidup ini berlaku hukum alam. Salah satunya adalah yang bernama Hukum Kepercayaan. Ketika kita melakukan kecurangan dan menyakiti banyak orang, maka kepercayaan orang kepada kita akan rusak, reputasi kita pun akan hancur berantakan. Apalagi para Machiavellis dikenal sebagai orang yang jauh dari agama, moral dan nilai-nilai kebaikan. Kalau demikian, siapa lagi orang yang mau berhubungan dengan mereka?

Kenyataan ini sesungguhnya merupakan sebuah pil pahit bagi seorang Machiavellis. Itulah yang menyebabkan di kemudian hari lahirlah kaum Machiavelis Modern yang memperbaiki penampilannya. Mereka melakukan sebuah revolusi dalam cara menampilkan diri. Kalau kaum Machiavellis Kuno menjauhi agama dan moral – inilah yang membuat mereka terlihat jahat – kaum Machiavellis modern justru mendekati agama dan moral dan memanfaatkan keduanya sebagai tempat berlindung. Dengan demikian mereka akan terlihat lebih agamis dan menyatu dengan masyarakat banyak.

Pernahkah Anda memperhatikan para tersangka korupsi yang tiba-tiba  sering menggunakan pakaian dan simbol-simbol agama terutama dalam menghadapi persidangan? Itulah segelintir contoh perilaku kaum Machiavelis Masa Kini. Mereka menjadikan agama – dan bukan Tuhan – sebagai tempat berlindung.

* * *

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *


kelebihan arvan pradiansyah